Senin, 11 Mei 2009

Sapta Darma

Pendahuluan
Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah dicapai oleh manusia modern dewasa ini sungguh sangat mencengangkan, khususnya pemenuhan manusia akan kebutuhan jasmaniahnya (dunia materi). Sedangkan kemajuan spritual ataupun kesempurnaan jiwa dan rohani tidaklah seimbang. Padahal rohani dan jiwa adalah motor penggerak daripada segala tingkah laku dan perbuatan yang tampak pada tindakan sehari-hari. Ketidak seimbangan tersebut membuat manusia menuju pada kehancuran.
Suatu kenyataan bahwa kepercayaan (kebatinan, kejiwaan dan kerohanian) bagi bangsa Indonesia telah merupakan suatu naluri dan dapat merupakan kebudayaan kita yang akhir-akhir ini dikalangan generasi muda kabur dan kurang mendapat perhatian, yang sebenarnya dengan jalan inilah manusia dapat memahami “rasa” daripada kehidupan itu sendiri.
Kerohanian Sapta Darma adalah suatu ajaran murni wahyu yang diterima oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama yang nama aslinya bernama Bapak Hardjosapuro dari desa Pare, Kediri Propinsi Jawa Timur. Sapta Darma diturunkan untuk mengembalikan akhlak manusia dan memberikan pandangan kepada sekalian umat menuju kebudiluhuran. Menurut pendapat Dr. Suwarno imam S, Sapta Darma mempunyai tujuan untuk memayu hayuning bahagianya buana artinya membimbing hidup manusia untuk dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akherat ( mencapai kebahagiaan hidup jasmani dan rohani ).
Biografi 
 Aliran Kerohanian Sapta Darma adalah suatu ajaran murni wahyu yang diterima oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama, yang nama aslinya adalah Bapak Hardjosapuro. Ia dilahirkan di desa sanding pare, Kediri Propinsi Jawa Timur pada tahun 1916 M.
 Ajaran sapta darma pertama kali “diwahyukan” kepada Hardjosapuro pada tanggal 27 Desember 1952. ketika itu jam satu malam, tiba-tiba seluruh tubuh Hardjosapuro digerakkan untuk melakukan sujud. Gerakan sujud yang datang tiba-tiba, hal itu berlangsung hingga jam 5 pagi. Keeseokan harinya Hardjosapuro datang menemui teman-temannya untuk menceritakan kejadian tersebut. Sesampai dirumah temannya itu tiba-tiba ia bersama temannya digerakkan seluruh tubuhnya untuk melakukan sujud seperti kejadian sebelumnya. Kejadian seperti ini terulang terus setiap Hardjosapuro mendatangi teman-temannya yang lain, sampai ada enam orang temannya yang mengalami kejadian serupa. 
 Selanjutnya Hardjosapuro mendapatkan “wahyu” kembali untuk melakukan apa yang disebut racut, yaitu mengalami mati di dalam hidup. Dan diceritakan bahwasannya roh Hardjosapuro meninggalkan badan (wadag) naik keatas (alam lain). dan disana Hardjosapuro masuk kesebuah masjid yang besar dan indah disana ia melakukan sujud di tempat pengimaman, sesudah itu ia didatangi oleh orang yang bersinar-sinar (diangkat dan diayun-ayunkan) kemudian dibawa ke sebuah sumur yang airnya penuh. Sumur itu disebut sumur Gumuling dan sumur jolorundo. Setelah itu Hardjosapuro mendapatkan dua keris yang diberi nama Nogososro dan Bendosugodo, kemudian ia disuruh kembali dan akhirnya terbangun, hidup kembali. Kejadian ini dicatat dan ditetapkan terjadi pada tanggal 13 februari 1953, karena hal ini terjadi pada saat Hardjosapuro dan teman-temannya berkumpul di rumahnya.  
 Semenjak ia mendapatkan wahyu yang pertama, sudah mendapatkan gelar Resi Brahmono dari Tuhan, kemudian pada tanggal 27 desember 1955 gelar itu ditingkatkan lagi Sri gutomo, dan di pertinggi lagi menjadi Panuntun agung, sehingga gelar itu menjadi Panuntun agung Sri Gutomo. Akhirnya pada tanggal 16 deswember 1964 Hardjosapuro, sang Panuntun Agung meninggal dunia; jenazahnya kemudian dibakar dan dilarung (diceburkan) ke laut di dekat Surabaya. Selanjutnya pusat pimpinan sapta darma dipindahkan ke yogyakarta, bertempat di surokarsan bergandengan dengan candi agung yang bernama candi sapta rengga, setelah Panuntun agung Sri Gutomo meninggal dunia kepemimpinan digantikan oleh Panuntun Agung Sri Pawenang sebagai pimpinan selanjutnya sapta darma, yakni ia seorang wanita bernama Sri suwartini, salah satu lulusan Universitas Gajah Mada. Semenjak kepemimpinan sapta darma dipimpin oleh Sri Pawenang, perkembangan sapta darma semakin meningkat. 
Ajaran
 Ajaran sapta darma terbentuk setelah diturunkan wahyu dalam tahap beberapa kali, adapun wahyu-wahyu yang diterima adalah sebagai berikut :
1. Wahyu Sujud adalah memuat ajaran tentang tata cara menyembah kepada Allah Hyang Maha Kuasa.
Adapun cara melakukan sujud adalah sebagai berikut :
Sikap duduk, tegak menghadap timur. Bagi pria duduk bersila, kaki kanan didepan yang kiri. Bagi wanita bertimpuh. Tangannya ber sedakep, yang kanan didepan yang kiri. Selanjutnya menentramkan badan, mata melihat ke lantai ke satu titik di depannya kira-kira satu meter. Kepala dan punggung segaris lurus.
Setelah merasa tentram kemudian mengucapkan dalam batin “Allha hyang Mahaagung, Allah Hyang Maharahim, Allah Hyang Mahaadil.” Lebih lanjut, bila telah tenang dan tentram, terasa ada getaran di dalam tubuh yang merambat berjalan dari bawah ke atas. Kemudian ujung lidah terasa dingin kena angin (bahasa jawa pating trecep).
Selanjutnya rasa merambat ke atas ke kepala karenanya mata lalu terpejam dengan semdirinya. Bila kepala sudah terasa berat, tanda bahwa rasa telah berkumpul di kepala. Hal ini menjadikan badan tergoyang dengan sendirinya. Kemudian mulai merasakan jalannya air sari yang ada di tulang ekor. Jalannya air sari merambat halus sekali, naik seraya mendorong tubuh membungkuk ke depan. Membungkukknya badan diikuti terus, sampai dahi menyentuh ke lantai, lalu di dalam batin mengucapkan, “Hyang Mahasuci sujud Hyang MahaKuasa”, sampai tiga kali.
Selesai mengucapkan, kepala diangkat perlahan-lahan, hingga badan dalam sikap duduk tegak lagi seperti semula. Kemudian mengulang lagi merasakan seperti tersebut diatas, sehingga dahi menyentuh lantai yang kedua kalinya, lalu di dalam batin mengucapkan, “kesalahan Hyang Mahasuci mohon ampun kepada hyang MahaKuasa”, sampai tiga kali
Dengan perlahan-lahan kepala diangkat duduk tegak kembali, lalu mengulang merasakan lagi sampai dahi menyentuh lantai yang ketiga kalinya. Kemudian dalam batin mengucapkan, “Hyang mahasuci bertobat kepada Hyang MahaKuasa” sampai tiga kali. Akhirnya duduk tegak kembali, masih tetap dalam sikap tenang untuk beberapa menit, kemudian sujud selesai.  
Sujud dengan tiga kali membungkuk tersebut di atas disebut “sujud dasar” atau “sujud wajib”. Sujud ini harus dilakukan sedikit-dikitnya stu kali dalam dua puluh empat jam.
2. Wahyu Racut, maksudnya memisahkan rasa perasa (angan-angan, pikiran). Maka ruh manusia berangkat meninggalkan tubuh pergi menghadap Hyang Mahakuasa dan kemudian setelah menghadap, ia diperintahkan untuk kembali memasuki tubuhnya. Keadaan ini mengisyaratkan “mati sajroning urip”, mati dalam hidup. Yang mati adalah pikiran, angan-angan, kemauan, pokoknya dibekukan segala daya otak, sedangkan ruhnya melayang hidup menemui Allah. Dengan tujuan dapat mengetahui selagi masih hidup di dunia, bahwa nanti setelah mati ia akan bersama-sama dengan Hyang Mahakuasa.
Dengan artian yang mudah bahwasannya ajaran ini memuat perihal, tentang tata cara rohani manusia untuk mengetahui alam langgeng atau melatih sowan/menghadap Hyang Maha Kuasa.
3. Wahyu Simbol Pribadi Manusia menjelaskan tentang asal mula, sifat watak dan tabiat manusia itu sendiri, serta bagaimana manusia harus mengendalikan nafsu agar dapat mencapai keluhuran budi.
Adapun simbol-simbol tersebut dipatrikan dalam sebuah gambar kombinasi segi empat, segi tiga, lingkaran-lingkaran dan vignette semar, serta memakai warna-warni yang mengandung arti simbolik. 
4. Wewarah Tujuh , artinya tujuh ajaran (petunjuk) /sapta darma. Yang kemudian diadopsi menjadi nama dari pada aliran ini, yaitu Sapta Darma, yang mengandung arti tujuh kewajiban (kebajikan). Adapun Tujuh Kewajiban itu terperinci sebagai berikut :
1) Setia dan tawakal pada adanya pancasila Allah (Maha agung, maharahim, Mahaadil, Mahawawesa, dan Mahalanggeng).
2) Dengan jujur suci hati, harus setia menjalankan perundang- undangan negaranya.
3) Turut serta menyisingkan lengan baju, menegakkan berdirinya nusa dan bangsanya.
4) Menolong kepada siapa saja bila perlu, tanpa mengharapkan sesuatu, melainkan berdasarkan rasa cinta dan kasih.
5) Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri.
6) Sikapnya dalam hidup bermasyarakat, kekeluargaan, harus susila beserta halusnya budi pekerti, selalu merupakan petunjuk jalan yang mengandung jasa serta memuaskan.
7) Yakin bahwa keadaan dunia itu tiada abadi, melainkan selalu berubah-ubah (anyakra manggilingan).
Wewarah Tujuh merupakan kewajiban hidup manusia di dunia sekaligus merupakan pandangan hidup dan pedoman hidup manusia. Dalam wewarah tujuh tersebut tersirat kewajiban hidup manusia dalam hubungannya dengan Allah Hyang Maha Kuasa, Pemerintah dan Negara, nusa dan bangsa , sesama umat makluk sosial, pribadinya sebagai makluk individu, masyarakat sekitar dan lingkungan hidupnya serta meyakini bahwa keadaan dunia tiada abadi selalu berubah-ubah (Anyakra Manggilingan).
5. Wahyu Sesanti yang cukup jelas dan gampang dimengerti oleh siapapun, membuktikan suatu etika/ciri khas Sapta Darma yang menitik beratkan kepada warganya harus membahagiakan orang lain (tansah agawe pepadang lan maraning lian).
Konsep Tuhan, Manusia dan Mistik. 
 Ajaran sapta darma menjelaskan tentang Tuhan sangatlah sederhana, sebagaimana dijelaskan oleh Sri Pawenang bahwa Tuhan juga disebut Allah. Sesungguhnya Allah itu Ada dan Tunggal (Esa). Allah memiliki lima sila yang mutlak, yaitu: Mahaagung, Maharahim, Mahaadil, Mahawawesa, dan Mahalanggeng. 
 Dilihat dari perspektif paradigma sinkretisme, ajaran keTuhanan seperti ini menyerupau jaran keTuhanan di dalam agama islam. Menurut ajaran ini, di dalam badan jasmani tersebar sinar cahaya Allah yang disebut rasa atau roh. Roh ini juga disebut roh suci yang dapat berhubungan dengan Allah, bahakan dapat bersatu dengan Allah. Dengan demikian ajaran sapta darma tentang tuhan dapat disebut “monisme panteistik”.
 Ajaran tentang manusia dalam sapta darma digambarkan dalam bentuk symbol (lambang), yaitu simbol sapta darma (simbol pribadi manusia). Dan dengan penjelasan sebagai berikut :  
1. Bahwa asal terjadinya manusia dari sinar sahaya Allah yang disebut hyang Mahasuci (roh suci) dan sari bumi yang terdiri dari sari sperma bapak dan sari telur ibu.
2. Bahwa pada badan jasmani manusia terdapat sembilan lubang udara, yakni dua di mata, dua di telinga, dua di hidung, satu di mulut, satu di dubur, dan satu di kemaluan.
3. Bahwa hidup manusia senantiasa berubah ubah, seperti roda berputar. Karena manusia setiap harinya makan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan dari binatang yang mengakibatkan timbulkan getaran yang jahat.
4. Badan jasmani manusia dilengkapi dengan empat nafsu, yaitu lawwamah, amarah, suwiyah, dan mutmainah.
5. Bahwa gambar semar merupakan inti di dalam symbol sapta darma, yakni sebagai symbol budi luhur dan NurCahya atau Hyang Mahasuci yang memiliki kemampuan untuk berhubungan langsung dengan Allah Yang Mahakuasa.
6. Bagian rohani manusia di samping Hyang Mahasuci, juga dilengkapi dengan sebelas saudara, sehingga semuanya menjadi 12 saudara, yaitu: (1) Hyang Mahasuci, (2) Premana, (3) Jatingarang, (4) Gandarwaraja, (5
) Brama, (6) Bayu, (7) Endra, (8) Mayangkara, (9) Suksma Rasa, (10) SuksmaKencana, (11) Nagatahun, (12) Bagindakilir (Nur Rasa).
7. Hidup manusia menurut ajaran ini dipengaruhi oleh tiga getaran, yaitu getaran dari tumbuh-tumbuhan, getaran dari binatang, dan getaran dari cahaya Allah. Getaran dari tumbuh-tumbuhan dan binatang mempunyai pengaruh yang buruk terhadap kehidupan manusia, karenanya manusia harus teliti dalam mengkonsumsi makanan, agar getaran-getaran itu hanya dikuasai oleh cahaya Allah, yaitu getara-getaran yang sempurna. 
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasannya asal manusia terdiri dari, yaitu: Sinar cahaya Allah, air sari dari bapak dan air sari dari ibu. Air sari tersebut berasal dari sari bumi. Yang oleh ajaran ini disebut juga “Tritunggal”.
Konsep Mistik menurut sapta darma masih berhubungan dengan penjelasan di atas, dengan artian. bahwasannya Getaran sinar cahaya Allah itu kemudian bersatu padu dengan getaran air sari dan berjalan secara halus merambat ke seluruh tubuh. Bila telah memusat di ubun-ubun akan berwujud nur putih, akhirnya naik bersatu menghadap hyang Mahakuasa untuk menerima petunjuk berupa isyarat. 
Persatuan antara Hyang Mahasuci (nur putih) dengan Hyang Mahakuasa dapat dicapai dengan jalan sujud, yaitu sujud yang dilakukan dengan penuh kesungguhan. Karenanya, sujud itu tidak boleh dilakukan dengan tergesa-gesa memburu lekas selesai. Yang mana apabila melakukan sujud itu dengan kesungguhan akan menuntun jalannya air sari dari sinar cahaya Allah, yang meliputi seluruh tubuh hingga sampai ke sel-selnya.
Persatuan yang dilakukan, bukan saja dengan jalan sujud akan tetapi disamping itu dapat dilakukan dengan cara Racut. Racut berarti memisahkan rasa dari perasaan, dengan tujuan menyatukan roh suci dengan sinar sentral. Jadi racut dapat digunakan untuk menghadap Hyang Mahasuci ke hadirat Hyang Mahakuasa. Jadi selagi manusia masih hidup di dunia ini, ia dapat menyaksikan tempat dimana kelak bila kita kembali kea lam abadi atau surga. Dengan demikian, benarlah kata-kata manusia harus dapat mati dalam hidup, supaya dapat mengenal (mengerti) rupa dan rasanya. Maksudnya yang dimatikan adalah alam pikirannya, sedang rasanya tetap hidup. Maka, sewaktu racut, manusia dapat mengetahui rohnya sendiri naik ke alam abadi (akhirat atau surga) menghadap Hyang Mahakuasa. Dan rohnya dapat mengetahui jasmani yang ditinggalkan sementara terbaring di bawah.  
Racut dilakukan setelah sujud wajib, kemudian sujudnya ditambah lagi dengan satu bungkukan, yang diakhiri dengan ucapan di dalam batin. Dan mengingat racut adalah perbuatan yang sulit, maka diperlukan latihan yang penuh kesabaran, ketelitian, kesungguhan, serta ketekunan. Hasil dari melakukan racut dapat memungkinkan seseorang dapat memiliki kewaskita-an (kewaspadaan) yang tinggi. Konsep Sujud dan Racut itu merupakan jalan Mistik dari ajaran ini.
Kesimpulan 
 Adalah suatu keanehan menurut Rahnip M.B.A. Bahwa ajaran ini memiliki berbagai macam perpaduan porsi yang beragam, mulai dari Agama, ajaran-ajaran, kebudayaan/tradisi serta filsafat yang telah ada sebelum munculnya ajaran ini. Bahkan ada yang tidak mungkin diterima oleh khalayak manusia, misalnya mengenai ajaran Racut.
 Adapun menurut para pendirinya, pokok dari ajaran ini ada, karena desakan keadaan, yang mana keadaan pada waktu menuntut manusia untuk mengolah rasa atau juga disebut Nilai-nilai Spiritual. Dengan begitu manusia dapat mencapai kebahagiaannya dalam hidup di dunia maupun di akhirat. Karena mampu mengolah keadaan jasmani dan rohaninya.

 Pada akhirnya toh ajaran ini dapat tersebar dengan begitu luasnya, betapa. Tidak mungkin hal ini dapat terjadi kalau bukan karena prestasi atau kebenaran daripada ajaran sapta darma ini. Itupun bagi yang percaya, bagi yang tidak percaya, cukup dengan mengetahui ajaran ini dan tidak perlu merusaknya. Kita pun sudah tahu bahwa ajaran yang tidak benar akan hilang dengan sendirinya, cepat atau lambat.

_____________________________________________________________________

Daftar Pustaka
Rahnip, M.B.A. Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan (Indonesia: Pustaka Progresif, 1997). 
Suwarno imam S, Dr. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam berbagai kebatinan Jawa (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005).

Nahdlatul Ulama

Pendahuluan sebagai Sejarah,
Persoalan yang terjadi pada tatanan bangsa Indonesia pada saat itu sangat kompleks, baik secara mental, maupun ekonomi, dan akibat penjajahan kolonialisme maupun akibat kungkungan tradisi, yang dialami bangsa ini. Hal ini membuat keadaan bangsa menjadi terpuruk. Berawal dari permasalahan ini, sehingga menggugah kesadaran kaum Terpelajar, Kalangan pesantren, untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. 
Gerakan yang awalnya muncul adalah Gerakan Kebangkitan Nasional yang muncul 1908. Dengan begitu kalangan pesantren, merespon hal tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.  
Persoalan yang ada semakin melebar hingga tatanan internasional, yaitu Setelah kaum Wahabi melalui pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1925 berhasil menguasai seluruh daerah Hejaz, maka mereka mengubah nama negeri Hejaz dengan nama Saudi Arabia. Dengan dukungan sepenuhnya dari raja mereka yang pertama, Ibnu Sa'ud, mereka mengadakan perombakan-perombakan secara radikal terhadap tata cara kehidupan masyarakat. Tata kehidupan keagamaan, mereka sesuaikan dengan tata cara yang dianut oleh golongan Wahabi, yang antara lain adalah ingin melenyapkan semua batu nisan kuburan dan meratakannya dengan tanah, serta penghancuran terhadap warisan peradaban. Keadaan tersebut sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang banyak bermukim di negeri Hejaz, yang menganut paham yang berbeda, hal ini membuat Mereka sangat terkekang dan tidak mempunyai kebebasan lagi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan paham yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh bangsa Indonesia sebagai suatu persoalan yang besar. Persoalan tersebut oleh bangsa Indonesia tidak dianggap sebagai persoalan nasional bangsa Arab saja, melainkan dianggap sebagai persoalan internasional, karena menyangkut kepentingan ummat Islam di seluruh dunia. .
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah. Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga. 
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka diadakan pertemuan di Lawang Agung Ampel Surabaya pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M). Setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar. 
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak. 
Kehadiran NU dimaksudkan sebagai suatu organisasi yang dapat mempertahankan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dari segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan Islam di luar Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di Indonesia pada khususnya dan di seluruh dunia pada umumnya. Disamping itu juga dimaksudkan sebagai organisasi yang mampu memberikan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh Pemerintah Penjajah Belanda kepada ummat Islam di Indonesia.
Nahdlatul Ulama disingkat NU
Pada dasarnya memang menarik untuk mengetahui akar daripada sejarah itu sendiri, untuk mengetahui sebab daripada akibat timbulnya organisasi ini. Nahdlatul ulama sebagai salah satu organisasi sosial keagamaan yang memiliki landasan pacu “Paham Keagamaan”Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dan telah banyak melibatkan dirinya dalam sejarah proses perjuangan bangsa Indonesia. 
Paham keagamaan Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
1926-1929
Setelah NU lahir pada tanggal 31 Januari 1926 M, organisasi ini langsung dapat mengejawantahkan dirinya dengan tugas-tugas berat yang harus dihadapinya, dan Alhamdulillah keberhasilan pun dapat tercapai, mulai dari permasalahan internasional dengan keberhasilan meredam Raja Ibnu Saud yang ingin meratakan jajahannya (Hijaz) Makkah, dengan paham yang dianutnya yaitu Wahabi, dan alhasil Raja Ibnu Saud membuat satu ketetapan yang menjamin setiap ummat Islam untuk menjalankan Agama Islam menurut paham yang dianutnya. Perjuangan dalam membela bangsa Indonesia pun diambil alih dengan berani memberikan reaksi secara aktif terhadap rencana pemerintah Penjajah Belanda mengenai: Ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang isinya mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum yang dibawa Belanda dari Eropa, Pelimpahan pembagian waris ke Pengadilan Negeri (Nationale Raad) dengan menggunakan ketentuan hukum di luar Islam, Persoalan pajak rodi, yaitu pajak yang dikenakan kepada warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri, dan lain-lainnya. Dengan begitu, persoalan yang ditangani pada tahun pertama berdirinya organisasi ini adalah soal-soal politik, Politik keagamaan maupun politik dengan para penjajah bangsa.
1929-1942
Pada tanggal 5 September 1929 NU mengajukan Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah Tangga (Huishoudelijk Reglemen) yang telah disusun kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dan pada tanggal 6 Februari 1930 mendapat pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai organisasi resmi, untuk jangka waktu 29 tahun terhitung sejak berdiri. Pengurus Besar NU juga berusaha membuat lambang NU dengan jalan meminta kepada para Kyai untuk melakukan istikharah. Dan ternyata KH. Ridlwan Abdullah, Bubutan Surabaya berhasil. Dalam mimpi, beliau melihat gambar lambang itu secara lengkap seperti lambang yang sekarang; tanpa mengetahui makna simbol-simbol yang terdapat dalam lambang tersebut satu-persatu.
Setelah berdiri secara resmi, NU mendapat sambutan dari seluruh masyarakat Indonesia yang sebagian besar berhaluan salah satu dari madzhab empat. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat, 4 sampai 5 bulan, sudah terbentuk 35 cabang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang antara lain: NU dipimpin oleh para ulama' yang menjadi guru dari para kyai yang tersebar di seluruh Nusantara, khususnya Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari. Kesadaran ummat Islam Indonesia akan keperluan organisasi Islam sebagai tempat menyalurkan aspirasi dan sebagai kekuatan sosial yang tangguh dalam menghadapi tantangan dari luar.
Tekanan dari pihak pejajah pun semakin menjadi terhadapap ummat islam Indonesia dan disamping banyaknya penghinaan, maka NU memandang perlu untuk menyatukan potensi ummat islam di Indonesia. Pada tahun 1937 NU memelopori persatuan ummat Islam di seluruh Indonesia dengan membidani kelahiran dari Al Majlis al Islamiy al A'la Indonesia (MIAI).
Sebagai organisasi sosial yang harus menangani semua kepentingan masyarakat, NU memandang sangat perlu untuk membentuk kader-kader yang terdiri dari generasi muda yang sanggup melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh NU. Untuk itu, pada tanggal 12 Februari 1938, atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim selaku konsul Jawa Timur, diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang menelorkan keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan madrasah-madrasah, disamping sistem pendidikan pondok pesantren. 
1942-1955  
Pada masa penjajahan Jepang, Letnan Jendral Okazaki selaku Gunseikan pada tanggal 7 Desember 1942 berpidato di hadapan para ulama', yang isinya antara lain: Akan memberikan kedudukan yang baik kepada pemuda-pemuda yang telah dididik secara agama, tanpa membeda-bedakan dengan golongan lain asal saja memiliki kecakapan yang cukup dengan jabatan yang akan dipegangnya, maka sekali lagi Nahdlatul Ulama tampil ke depan untuk memelopori kalahiran dari Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi yang dianggap mampu membereskan segala macam persoalan kemasyarakatan; baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat politik, agar keinginan untuk menuju Indonesia Merdeka, bebas dari segala macam penjajahan segera dapat dilaksanakan. Dan setelah Masyumi lahir, maka MIAI pun dibubarkan.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, NU yang dibubarkan oleh penjajah Jepang bangkit kembali dan mengajak kepada seluruh ummat Islam Indonesia untuk membela dan mempertahankan tanah air yang baru saja merdeka dari serangan kaum penjajah yang ingin merebut kembali dan merampas kemerdekaan Indonesia.
Rais Akbar dari Pengurus Besar NU, Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari, mengeluarkana fatwa bahwa mempertahankan dan membela kemerdekaan Indonesia adalah wajib hukumnya.
Seruan dan ajakan NU serta fatwa dari Rais Akbar ini mendapat tanggapan yang positif dari ummat Islam; dan bahkan berhasil menyentuh hati nurani arek-arek Surabaya, sehingga mereka tidak mau ketinggalan untuk memberikan andil yang tidak kecil artinya dalam peristiwa 10 November '45 
Pengurus Besar NU hampir sebulan lamanya mencari jalan keluar untuk menanggulangi bahaya yang mengancam dari fihak penjajah yang akan menyengkeramkan kembali kuku-kuku penjajahannya di Indonesia. 
Kelambanan NU dalam hal tersebut disebabkan karena pada masa penjajahan Jepang NU hanya membatasi diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersifat agamis,sedang hal-hal yang menyangkut perjuangan kemerdekaan atau berkaitan dengan urusan pemerintahan selalu disalurkan dengan nama Masyumi.
Atas prakarsa Masyumi, di bawah pimpinan KH. Abdul Wahid Hasyim, maka Masyumi yang pada masa penjajahan Jepang merupakan federasi dari organisasi-organisasi Islam, mengadakan konggresnya di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Pada konggres tersebut telah disetujui dengan suara bulat untuk meningkatkan Masyumi dari Badan Federasi menjadi satu-satunya Partai Politik Islam di Indonesia dengan NU sebagai tulang punggungnya. Dengan begitu Masyumi menjelma sebagai Partai Politik.
Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Partai Masyumi benar-benar di luar keinginan NU. Sebab NU selalu menyadari betapa pentingnya arti persatuan ummat Islam untuk mencapai cita-citanya. Namun permintaan ini tidak digubris, sehingga memaksa NU untuk mengambil keputusan pada muktamar NU di Palembang, tanggal: 28 April s/d 1 Mei 1952 untuk keluar dari Masyumi, berdiri sendiri dan menjadi Partai. Dan NU hanya menpunyai waktu kurang lebih 3 tahun untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi dan mengambil bagian dalam pelaksanaan pemilu 1955, pesta demokrasi pertama di Indonesia. Walaupun demikian, NU berkat dukungan kuat dari pesantren-pesantren yang berjumlah sangat banyak di seluruh pelosok tanah air, NU dapat muncul sebagai kekuatan politik ke-3 di pentas politik nasional. 
Setelah NU keluar dari Masyumi, NU yang sudah menjadi Partai Politik ternyata masih gandrung pada persatuan ummat Islam Indonesia. Untuk itu NU mengadakan kontak dengan PSII dan PERTI membentuk Liga Muslimin. Gagasan NU ini mendapat tanggapan yang positif dari PSII dan PERTI, sehingga pada tanggal 30 Agustus 1952 diakan pertemuan yang mengambil tempat di gedung Parlemen RI di Jakarta, lahirlah Liga Muslimin Indonesia yang anggotanya terdiri dari NU, PSII, PERTI dan Darud Dakwah Wal Irsyad.
Dekade 1965 , sampai kembali ke Khittah
Selama NU menjadi Partai Islam, dalam gerak langkah nya mengalami pasang naik dan juga ada surutnya. Saat kabut hitam melingkupi awan putih wilayah nusantara pada tanggal 30 September 1965, kepeloporan NU muncul dan mampu mengimbangi kekuatan anti Tuhan yang menamakan dirinya PKI (Partai Komunis Indonesia). Sikap NU pada saat itu betul-betul sempat membuat kejutan pada organisasi-organisasi selain NU.
Keberhasilan NU dalam menumbangkan PKI dapat diakui oleh semua fihak. Dan hal ini menambah kepercayaan Pemerintah terhadap NU. NU sebagai Partai Politik sudah membuat kagum dan dikenal serta disegani oleh setiap orang di kawasan Indonesia, bahkan oleh dunia internasional. Apalagi mampu menumbangkan dan menumpas pemberontakan Partai Komunis yang belum pernah dapat ditumpas oleh negara yang manapun di seluruh dunia. Sehingga dengan demikian, NU dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan yang sangat komplek, dengan membaurnya kepentingan partai dengan kepentingan pribadi dari para pimpinannya. Oleh sebab itu, pada sekitar tahun 1967, NU yang sudah berada di puncak mulai menurun. Hal ini disebabkan antara lain oleh pergeseran tata-nilai, munculnya tokoh-tokoh baru, ketiadaan generasi penerus dan lain sebagainya.
Dan Pada sekitar tahun 1967/1968, NU mencapai puncak keberhasilannya kembali. Akan tetapi sayang sekali, justeru pada saat itu ciri khas Nahdlatul Ulama telah menjadi kabur. Pondok Pesantren yang semula menjadi benteng terakhir NU sudah mulai terkena erosi, sebagai akibat perhatian NU yang terlalu dicurahkan dalam masalah-masalah politik. Pada pemilu tahun 1971, NU keluar sebagai pemenang nomor 2. Hal tersebut membawa anggapan baru bagi masyarakat umum bahwa sebenarnya kepengurusan NU adalah sebagai hal yang luar biasa. Keadaan ini memperlihatkan secara jelas bahwa massa NU yang terkonsentrasi di pesantren-pesantren itu menjadi tulang punggung dan “Tambang emas” bagi partai NU dalam memperbesar jumlah perolehan suaranya dalam 2 kali tersebut. 
Hadirnya Nu di kancah perpolitikan ternyata menyudutkan fungsinya, karena ketelibatan NU secara berlebihan dalam kegiatan politik praktis; yang pada gilirannya telah menjadikan NU tidak lagi berjalan sesuai dengan maksud kelahirannya, sebagai Organisasi sosial keagamann yang ingin berkhidmat secara nyata kepada agama, bangsa dan negara. Bahkan hal tersebut telah mengaburkan hakekat Nahdlatul Ulama sebagai gerakan yang dilakukan oleh para ulama. Tidak hanya sekedar itu saja yang sangat menyulitkan Nahdlatul Ulama dalam kancah politik, akan tetapi silang pendapat di kalangan NU sendiri semakin tajam, sehingga sempat bermunculan berbagai hepothesa tentang bagaimana dan siapa sebenarnya Nahdlatul Ulama.
Dari kejadian demi kejadian dan bertolak dari keadaan tersebut, maka sangat dirasakan agar Nahdlatul Ulama secepatnya mengembalikan citranya yang sesuai dengan khittah Nahdlatul Ulama tahun 1926. Hal ini berarti bahwa Nahdlatul Ulama harus melepaskan diri dari kegiatan politik praktis secara formal, seperti yang telah diputuskan dalam Musyawarah Alim Ulama' Nahdlatul Ulama (Munas NU) di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur tahun 1982. dan sebagai hasil dari Muktamar Situbondo tahun 1984 Nahdlatul Ulama kembali ke Khittah 1926. dengan begitu NU membebaskan semua warganya untuk menyalurkan aspirasi politiknya.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU. 
kembali ke Khittah sampai sekarang
 Semenjak NU Kembali kepada Khiitah-nya, tidak ada alasan untuk tidak memperhitungkan keberadaan NU saat ini. Dan ada banyak argumentasi yang menjelaskan posisi strategis NU dalam berbagai hal.
 NU, sebagai organisasi sosial keagamaan merupakan wadah para ulama yang mempunyai basis konstituen masyarakan tradisional baik baik di pedesaan maupun perkotaan. Jumlah pengikutnya diperkirakan mencapai kurang lebih 40 juta orang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Mereka rata-rata merupakan komunitas yang sangat kuat menganut aliran islam tradisional dan sangat patuh terhadap ulama dan kyai. Bentuk ketaatan dan kepatuhan mereka terhadap ulama dan kyai sudah tidak diragukan lagi. Karena itu dalam soal politik, keberadaan ulama Nu dengan jutaan pengikut mereka selalu didekati oleh berbagai kekuatan politik yang ada. Mereka dirangkul untuk duduk bersama agar bersama agar bias memberi modal politik secara signifikan.  
NU, semenjak memudarnya citra Nu sebagai organisasi Islam tradisional, sejak Gusdur tampil sebagai ketua PBNU pada awal 1980-an, proyek pembaruan di tubuh Nu terlihat dengan jelas, sosok gusdur yang democrat dan toleran menampilkan citra NU sebagai organisasi modern yang mengedepankan pluralitas bangsa dan agama. Tafsir social atas teks-teks kitab suci dimaknai oleh Gusdur sebagai tidak bersifat tekstual lagi seperti sebelumnya. Gusdur dan tokoh-tokoh intelektual muda NU lainnya mengusung semangat pluralisme, inklusivisme dan modernisme. Gusdur juga mengembangkan tafsir konstektual atas doktrin-doktrin agama dalam upaya pengembangan kemaslahatan dan kemajuan masyarakat dan bangsa. 
Kaum “progesif” ini sering dikenal sebagai kelompok situbondo yang dipelopori oleh para ulama seperti kyai Sahal Mahfudh dan Kyai Muchith Muzadi serta para aktivis yang lebih muda. Mereka ini adalah anak-anak para pemimpin terkemuka NU, seperti Abdurrahman wahid (putra Wahid Hasyim), dan lainnya. Bagi mereka, focus garapan NU adalah kegiatan pendididikan dan perbaikan tingkat kehidupan masyarakat pedesaan, terutama pengembangan masyarakat (community development). 
Dengan begitu, wajah NU tampak lebih muda dan modern, terlebih dengan makin banyaknya kader-kader muda NU yang muncul sekiranya ini. Citra sebagai pembaru, yang sebelumnya hanya melekat pada muhammadiyah, kini sering dilambangkan juga pada organisasi yang berada di bawah NU. Bahkan dakam banyak hal, banyak ppemikiran dan para pemikir muda NU cenderung lebih progesif dan terbuka dalam menerjemahkan doktrin-doktri agama.


Penutup sebagai Refkeksi menuju 100 tahun perjalanan NU
 Menurut Prof. Dr. Nurcholis Madjid, dalam pengantar buku berpesan, agar NU harus tetap berpegang pada prinsip “al-muhafahdzat `ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” supaya pemikiran kita memiliki keontetikan namun tetap relevan dengan zaman. Artinya, selain ada al-ashlah (keaslian, orisinalitas), juga ada mu`asharah (menzaman, up to date), berakar dalam tradisi dan relevan dengan tuntutan zaman.
 Dalam salah satu tulisan yang mengundang perhatian orang luar tentang NU adalah Konstruk Mitsuo Nakamura tentang NU sebagai “tradisional yang bersifat radikal”. Yang menarik tentu adalah racikan tentang radikalisme itu terkesan eksotik_, dalam arti tidak punya kaitan dengan tradisi kirii, merah atau komunisme,, tapi sesuatu yang tradisional 
 Banyak komentar yang menjadi tantangan tersendiri bagi NU, maupun harapan yang sangat besar bagi organisasi ini. Bahkan Sekarang NU dihadapkan pada tantangan yang lebih kompleks, karena NU dikepung oleh berbagai kelompok Islam yang berjenis lain yang meski begitu tidak terlalu besar, tetapi berpotensi menarik kelompok-kelompok baru.
Banyak hal yang sudah dilakukan oleh organisasi NU sampai saai ini. Baik secara atribut maupun perangkatnya yang terukur dan terorganisir rapi, dan memiliki program pokok dan jaringan yang luas pada setiap lembaganya. Sehingga dalam setiap langkahnya NU ada dan hadir begitu dekat dengan kehidupan “rakyat” masyarakat. Mendekati ulang tahunnya yang ke 100 Tahun, pada tahun 2026. dalam umurnya yang seabad itu, siapkah NU untuk tetap Relevan terhadap masyarakat dan menjadi topang yang kuat bagi pertumbuhan bangsa ini ?, semoga sejarah dapat menjawabnya dengan baik. Wallahu a`lam.
Lembar Lampiran 1.
Susunan Pengurus Besar "NAHDLATUL ULAMA" Pertama, sebagai berikut:
Ra'is Akbar : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
Wakil Ra'is : KH. Said bin Shalih
Katib Awwal : KH. Abdul Wahab Hasbullah
Katib Tsani : Mas H. Alwi Abdul Aziz
A'wan : 
1. KH. Abdul Halim (Leuwimunding)
2. KH. Ridlwan Surabaya (pencipta lambang NU)
3. KH. Bisri Sansuri, Denanyar, Jombang. 
4. KH. Said.
5. KH. Abdullah Ubaid, Surabaya.
6. KH. Nahrawi Thahir, Malang.
7. KH. Amin, Surabaya.
8. KH. Kholil Masyhuri, Soditan, Lasem, Jateng
Musytasyar : 
1. KH. Asnawi, Kudus
2. KH. Ridlwan, Semarang.
3. KH. Nawawi, Sidogiri, Pasuruan.
4. KH. Doro Muntoho, Bangkalan.
5. KH. Ahmad Ghonaim Al Misri.
6. KH. Hambali, Kudus.
Presiden : H. Hasan Gipo
Penulis : H. Sadik alias Sugeng Yudodiwiryo
Bendahara : H. Burhan
  H. saleh Syamil
  H. Ihsan
Komisaris : H. Nawawi, H. Dahlan Abdul Qohar dan Mas Mangun.
   
Lembar Lampiran 2.
Atribut dan Perangkat 
 Atribut

Basis pendukung
Jumlah warga Nahdlatul Ulama (NU) atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari beragam profesi. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi. Warga NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Jika selama ini basis NU lebih kuat di sektor pertanian di pedesaan, maka saat ini, pada sektor perburuhan di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.

Dinamika 
Prinsip-prinsip dasar yang dicanangkan Nahdlatul Ulama (NU) telah diterjemahkan dalam perilaku kongkrit. NU banyak mengambil kepeloporan dalam sejarah bangsa Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa organisasi ini hidup secara dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman. Prestasi NU antara lain:
1. Menghidupkan kembali gerakan pribumisasi Islam, sebagaimana diwariskan oleh para walisongo dan pendahulunya.
2. Mempelopori perjuangan kebebasan bermadzhab di Mekah, sehingga umat Islam sedunia bisa menjalankan ibadah sesuai dengan madzhab masing-masing.
3. Mempelopori berdirinya Majlis Islami A'la Indonesia (MIAI) tahun 1937, yang kemudian ikut memperjuangkan tuntutan Indonesia berparlemen.
4. Memobilisasi perlawanan fisik terhadap kekuatan imperialis melalui Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945.
5. Berubah menjadi partai politik, yang pada Pemilu 1955 berhasil menempati urutan ketiga dalam peroleh suara secara nasional.
6. Memprakarsai penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) 1965 yang diikuti oleh perwakilan dari 37 negara.
7. Memperlopori gerakan Islam kultural dan penguatan civil society di Indonesia sepanjang dekade 90-an.
Tujuan Organisasi 
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Usaha Organisasi
1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
3. Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Struktur
1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota)
4. Majelis Wakil Cabang (tingkat Kecamatan)
5. Pengurus Ranting (tingkat Desa/Kelurahan)
Untuk tingkat Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Mustasyar (Penasehat)
2. Syuriah (Pimpinan Tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk tingkat Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Syuriaah (Pimpinan tertinggi)
2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)
Jaringan 
Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) meliputi:
• 31 Pengurus Wilayah 
• 339 Pengurus Cabang 
• 12 Pengurus Cabang Istimewa
• 2.630 Majelis Wakil Cabang
• 37.125 Pengurus Ranting

Perangkat

Lembaga 
Merupakan pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Lembaga ini meliputi:
1. Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Program pokok:
• Pengembangan organisasi dan SDM di bidang dakwah Islamiyah. 
• Pengembangan kerukunan antar umat beragama 
• Penyebarluasan ajaran Islam yang selaras dengan semangat ahlussunah waljama'ah 
• Penggalangan kegiatan social kemasyarakatan. 
Jaringan Organisasi:
• 28 Wilayah 
• 328 Cabang 
2. Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU)
Program Pokok:
• Pengkajian kependidikan 
• Peningkatan kualitas tenaga pendidik 
• Pengembangan pendidikan berbasis masyarakat 
• Pengembangan kurikulum pendidikan yang dapat memadukan ketinggian ilmu pengetahuan dan keluhuran budi pekerti 
• Pengembangan jaringan kerja yang terkait dengan dunia pendidikan 
Jaringan Organisasi:
• 20 Wilayah 
• 117 Cabang 
Jaringan Usaha:
• 3.885 TK/TPQ 
• 197 SD dan 3.861 MI 
• 378 SLTP dan 733 MTs 
• 211 SLTA dan 212 MA 
• 44 Universitas dan 23 Akademi/Sekolah Tinggi 
3. Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama ( LPKNU )
Program Pokok:
• Pengkajian masalah kesehatan 
• Pendidikan dan pembinaan pelayanan kesehatan 
• Penggalangan dana bagi para korban bencana alam dan kesehatan 
• Pengembangan lembaga penanggulangan krisis kesehatan. 
Jaringan Organisasi:
• 27 Wilayah 
• 100 lebih Cabang 
4. Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU)
Program pokok:
• Pengkajian ekonomi 
• Pemetaan potensi ekonomi warga NU 
• Pemberdayaan ekonomi masyarakat 
• Pelatihan 
Jaringan organisasi:
• 24 Wilayah 
• 207 Cabang



 
5. Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU)
Program pokok:
• Pengkajian masalah pertanian 
• Pengembangan sumber daya hayati 
• Pembinaan dan advokasi pertanian 
• Pemberdayaan ekonomi petani 
Jaringan organisasi:
• 19 Wilayah 
• 140 Cabang 
6. Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI)
Program pokok:
• Pengkajian kepesantrenan 
• Pengembangan kualitas pendidikan pesantren 
• Pengembangan peran social pesantren 
• Pemberdayaan ekonomi pesantren 
Jaringan organisasi:
• 27 Wilayah 
• 323 Cabang 
Jaringan usaha:
• 6.830 Pesantren 
7. Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU)
Program pokok:
• Pengkajian sosial keagamaan 
• Pengembangan wawasan keluarga sejahtera 
• Pelayanan kesehatan masyarakat 
• Advokasi kependudukan dan lingkungan hidup 
Jaringan organisasi:
• 22 Wilayah 
• 50 lebih Cabang 
8. Lembaga Takmir Masjid Indonesia ( LTMI )
Program pokok:
• Pengembangan kualitas manajemen rumah ibadah 
• Pengembangan aktifitas keagamaan masjid 
• Peningkatan fungsi social masjid 
Jaringan organisasi:
• 16 Wilayah (tingkat propinsi) 
9. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM)
Program pokok:
• Pengkajian sosial, ekonomi, budaya, dan keagamaan 
• Pengembangan kreatifitas dan produktifitas masyarakat 
• Pendidikan dan pembinaan perencanaan strategis 
• Pengembangan program pembangunan sektoral 
Jaringan organisasi:
• 16 Wilayah 
• 60 lebih Cabang 
10. Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
Program pokok:
Pengembangan keorganisasian Pengkajian masalah perburuhan Pendidikan perburuhan Advokasi dan perlindunganburuh Peningkatan kesejahteraan buruh dan keluarganya
Jaringan organisasi:
14 Wilayah 
342 Cabang 
135 Basis GBLP (Gerakan Buruh Lapangan Pekerjaan)
11. Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH)
Program pokok:
• Pengkajian hukum dan perundang-undangan 
• Pendidikan kepengacaraan 
• Advokasi dan penyuluhan hukum 
• Kampanye penegakan hukum dan HAM 
Jaringan organisasi:
• 1 Wilayah 
• 7 Cabang
12. Lajnah Bahtsul Masail (LBM-NU) 
Program pokok:
• Pengkajian masalah-masalah actual kemasyarakatan 
• Perumusan dan penyebarluasan fatwa hukum (Islam) 
• Pengembangan standarisasi kitab-kitab fikih 
Jaringan organisasi:
• 31 Wilayah 
• 339 Cabang
Selain 12 Lembaga, 4 Lajnah, dan 9 Badan Otonom, khusus di tingkat pusat, NU juga memiliki Centre for Strategic Policy Studies (CSPS) yang bertugas mengkaji masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan strategis pemerintah.
Lajnah 
Merupakan pelaksana program Nahdlatul Ulama (NU) yang memerlukan penanganan khusus. Lajnah ini meliputi:
1. Lajnah Falakiyah (LF-NU) 
Program pokok:
• Kajian keagamaan yang menyangkut masalah falakiyah 
• Pendidikan dan pelayanan informasi falakiyah 
• Penerbitan almanak NU 
Jaringan organisasi:
• 5 Wilayah  
2. Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN-NU) 
Program pokok:
• Pengkajian ke-NU-an dan kemasyarakatan 
• Penulisan dan penerbitan buku-buku ke-NU-an 
• Penerbitan media massa 
Jaringan organisasi:
• 16 Wilayah 
3. Lajnah Auqaf (LA-NU) 
Program pokok:
• Pengkajian perwakafan 
• Pengembangan kualitas pengelolaan harta wakaf warga NU 
Jaringan organisasi:
• 27 Wilayah 
• 100 lebih Cabang 
4. Lajnah Zakat, Infaq, dan Shadaqah (Lazis NU) 
Program pokok:
• Pengkajian masalah zakat, infaq, dan shadaqah 
• Pengembangan efektivitas pola pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah 
Jaringan organisasi:
• 27 Wilayah 
• 100 lebih Cabang 
 
  Badan otonom
Merupakan pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Badan Otonom ini meliputi:
1. Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah 
Program pokok:
Pengkajian ketarekatan dan keagamaan 
Pengembangan ajaran tarekat mu'tabarah di lingkungan NU 
Pembinaan praktek tarekat bagi warga NU 
Jaringan organisasi:
15 Wilayah 
200 Cabang  
2. Muslimat NU 
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan keorganisasian 
Pengkajian keperempuanan dan kemasyarakatan 
Pengembangan SDM kaum perempuan 
Pengembangan pendidikan kejuruan 
Pengembangan usaha social dan advokasi perempuan 
Jaringan organisasi:
31 Wilayah 
339 Cabang 
2.650 Anak Cabang (setingkat MWC) 
Jaringan usaha:
49 Rumah Sakit, Poliklinik dan Rumah Bersalin 
8.522 TK dan TPQ 
247 Koperasi (koperasi An Nisa) 
Puluhan panti yatim piatu, panti balita, asrama putri, dan Balai Latihan Kerja yang tersebar di pelbagai daerah 



3. Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) 
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan keorganisasian 
Pengembangan wawasan kebangsaan 
Pengembangan SDM di bidang ekonomi, politik, IPTEK, social budaya, dan hukum 
Pengembangan jaringan kerja nasional dan internasional 
Jaringan organisasi:
30 Wilayah 
337 Cabang 
Jaringan usaha:
INKOWINA (Induk Koperasi Wira Usaha Nasional) 
4. Fatayat NU 
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan keorganisasian 
Kajian kepemudaan dan keperempuanan 
Pendidikan dan penyuluhan kesehatan masyarakat 
Penanggulangan krisis social, terutama menyangkut perbaikan kualitas generasi muda 
Jaringan organisasi:
27 Wilayah 
334 Cabang 
5. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) 
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan keorganisasian 
Pengkajian social kemasyarakatan 
Pengembangan kreatifitas pelajar 
Penggalangan dana beasiswa bagi pelajar kurang mampu 
Pendidikan dan pembinaan remaja penyandang masalah social 
Jaringan organisasi:
27 Wilayah 
265 Cabang 
Jaringan Usaha:
KOPUTRA (Koperasi Putra Nusantara) 
6. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) 
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan keorganisasian 
Pengkajian social keagamaan serta masalah remaja dan kepelajaran 
Pendidikan dan pelayanan kesehatan remaja 
Pengembangan pendidikan bagi pelajar putus sekolah 
Jaringan organisasi:
26 Wilayah 
316 Cabang

 7. Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) 
Pemetaan dan pengembangan potensi kader terdidik NU 
Optimalisasi peran dan mobilitas social warga NU 
Pengkajian masalah-masalah keindonesiaan 
Pengembangan jaringan kerja nasional dan internasional 
Jaringan organisasi:
5 Wilayah 
17 Cabang 
8. Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa)
Program pokok:
Pendidikan bela diri pencak silat. 
Pembinaan dan pengembangan tenaga keamanan di lingkungan NU. 
Pengembangan kerja social kemanusiaan 
Jaringan organisasi:
15 Wilayah 
110 Cabang 
9. Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz (JQH) 
Program pokok:
Pengkajian dan pengembangan seni baca Al-Qur'an.Pendidikan dan pembinaan qira'atulQur'an. 
Pengembangan SDM dibidang tahfidzul Qur'an, dan Penyelenggaraan MTQ. 
Jaringan organisasi:
27 Wilayah 
339 Cabang
 
*Selain 10 Badan Otonom, 5 Lajnah, dan 10 Lembaga, khusus di tingkat Pusat NU juga memiliki Centre for Strategic Policy Studies (CSPS) yang bertugas mengkaji masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan strategis pemerintah.














Daftar Pustaka
Arifin. Zainal, dkk, ed. Membangun Budaya kerakyatan: kepemimpinan Gusdur dan gerakan sosial NU (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997).
Baso, Ahmad. NU Studies: pergolakan pemikiran antara fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-liberal (Bandung: Erlangga, 2006)
Hasyim, KH, A Wahid. ed., Buntaran sanusi dkk. Mengapa Memilih NU ? Konsepsi Tentang Agama. Pendidikan Dan Politik (Jakarta: PT Inti sarana Aksara)
Ismail, Faisal, Prof, Dr, MA, Dilema NU: Di tengah badai pragmatisme politik (Jakarta: Litbang Depag, 2004)
P3M. ed.,Zuhairi Misrawi. Menggugatt Tradisi: pergulatan pemikiran anak Muda NU (jakarta: Buku Kompas, 2004)
Wahid, Abduurahman. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi kebudayaan (Jakarta: The wahid Institut, 2007)

Daftar Pustaka Elektronik
Masduqi Achmad, Drs. KH. Riwayat Perjuangan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama'. Artikel diakses pada 8 april 2009 dari http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/sejarah_nahdlatul_ulama.single.
Sejarah NU. Artikel diakses pada 8 april 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama.
Sejarah NU. Artikel diakses pada 8 april 2009 dari http://www.nu.or.id/page.php.